Di sini aku terdiam, masih berusaha mengingat kejadian beberapa hari
yang lalu. Masih dengan perasaan menyesalku atas kepergiannya yang sangat
mengejutkanku. Sungguh kesedihanku memang teramat besar, tapi rasa bersalahku
melebihi semuanya. Rina meninggalkan kenangan yang teramat singkat, bahkan aku
belum sempat menikmatinya. Tapi penyesalan ini tak akan ada gunanya, tetap
tidak akan mampu mengembalikan dia di sisi ku.
Hari ini aku berusaha membangkitkan semangatku setelah tenggelam dalam
kesedihan di beberapa hari belakangan ini. Ku jalani hari ini dengan aktifitas
seperti hari-hari biasanya. Mungkin dengan begini aku dapat melupakan sejenak
perasaan ini. Melupakan semua rasa bersalahku padanya, tapi tidak untuk
melupakan sosoknya di hidupku. Sampai kapanpun itu.
Setelah menghadiri beberapa pertemuan hari ini, kusempatkan untuk
berkunjung ke rumah orang tua almarhumah Rina. Karena kabar yang kudengar dari
Nana, tante Lia-ibu Rina- menjadi sering sakit-sakitan semenjak Rina meninggal.
Kunjunganku kerumah tante Lia karena aku khawatir dan ingin melihat keadaannya.
Sebelum sampai ke rumah tante Lia, kusempatkan membeli beberapa buah-buahan untuknya.
Sesampainya di rumah tante Lia, ku parkirkan satria ku di halaman rumahnya. Ternyata kedatangan ku disambut
hangat oleh tante Lia. Dari dulu dia memang tidak berubah, sangat ramah
terhadapku.
“Assalamu’alaikum tante, bagaimana kabar tante? kudengar dari Nana,
tante sedang sakit.” Kusapa tante Lia dan mencium tangannya sejenak. Dia
tersenyum mendengar pertanyaanku tersebut.
“Wa’alaikumsalam. Tante baik-baik saja kok Day. Kamu ngga perlu khawatir
gitu, Nana memang suka berlebihan. Tante hanya kurang istirahat.” Jawabnya dan
diakhiri dengan senyuman dan ekspresinya yang ingin menunjukkan bahwa dia
baik-baik saja.
“Tapi tante terlihat pucat dan sedikit agak kurusan.” Lanjutku sesaat
setelah tante Lia menjawab pertanyaanku.
“ah kamu berlebihan Day. Sudah, ayo masuk !” ujarnya yang lalu diakhiri
dengan mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya.
Sesaat setelah ku memasuki ruang tamu yang ada di rumah bergaya
minimalis ini, kuedarkan pandangan ku memperhatikan setiap inci ruangan ini.
Suasananya sangat sepi, karena semenjak kematian Rina, sekarang tante Lia hanya
tinggal berdua dengan Alin-adik Rina-, mengingat ayah Rina sudah lebih dulu
meninggal semenjak beberapa tahun yang lalu. Terlihat banyak figura foto yang
menggantung indah di dinding ruang tamu ini. Kuperhatikan satu persatu figura
tersebut. Sampai pada akhirnya sebuah foto memaksaku untuk kupandangi lebih
lama. Itu foto Rina. Senyumnya terlihat indah di foto itu. Foto itu kini
terpaksa membuatku mengingat kembali rasa bersalahku kepadanya. Teringat kembali
seulas kenangan bersamanya di hari-hari terakhirnya.
“Day, mau minum apa?” pertanyaan tante Lia membuatku sedikit terkejut
dan membuatku tersadar dalam lamunanku.
“oh, tidak usah repot-repot tante. Kalo haus nanti Day ambil sendiri
saja.”
“bagaimanapun kamu kan tamu tante yang harus tante hormati, masa tamu
ambil minum sendiri sih Day. Dimana-mana tuan rumah yang ambil minum untuk
tamunya dong.” Jelasnya setelah beberapa saat aku menjawab pertanyaannya. Aku
tertawa sejenak setelah mendengar pernyataan tante Lia tadi.
“oke, kalo gitu apa aja tante.” Setelah mendengar jawabanku, tante Lia
segera menuju dapur yang tak jauh dari sini untuk membuatkan ku minum.
Kembali ku pandangi foto Rina yang tadi sempat tertunda. Ku alihkan
pandanganku kearah foto yang tak jauh letaknya dari foto Rina yang tadi
kupandangi. Terlihat foto semasa kecil Rina dan Alin. Mereka tersenyum manis di
foto itu. Tak sadar akupun ikut tersenyum melihat foto mereka tersebut.
“mereka benar-benar mirip.” Gumamku yang segera dilanjutkan dengan
pertanyaan oleh tante Lia secara tiba-tiba.
“siapa yang kamu bilang mirip Day?” tanyanya dari belakangku sambil
membawa nampan berisi dua buah gelas dan
sepiring cheese cake.
“eh tante. Em itu, Rina dan Alin. Mereka berdua sangat mirip, terlihat
seperti anak kembar.” Jawabku mengalihkan pandanganku sesaat ke tante Lia dan
langsung kembali memandangi foto kedua kakak beradik tersebut. Memang mereka
berdua benar-benar mirip, terlebih lagi umur mereka yang tak terpaut jauh,
sehingga terlihat seperti selayaknya anak kembar.
“iya Day, mereka memang sangat mirip. Dan mereka lebih mirip dengan
ayahnya ketimbang tante.” Jawab tante Lia dengan senyuman khasnya.
“oh, maaf tante kalo aku bikin tante sedih” ujarku setelah menyadari apa
yang baru saja aku lakukan membuat tante Lia berubah ekspresi, seperti ekspresi
sedih.
“ngga kok Day, ngga apa-apa.”
“oiya tante, kemana Alin? Aku ngga liat dia daritadi.” Tanya ku yang
kemudian ku edarkan pandangan ku berusaha mencari sosok yang ku maksud.
“oh, dia memang jarang dirumah Day. Tante juga bingung sebenarnya apa
yang di kerjakan di luar sana. Terkadang tengah malam dia baru pulang, bahkan
tak pulang pun juga pernah. Tante sebenarnya khawatir, tapi setiap kali tante
tanya dia selalu ngga mau jawab pertanyaan tante. Tante jadi bingung.” Jelasnya
panjang lebar mengenai Alin.
“mungkin dia banyak tugas kuliah tante.” Ujarku berusaha membuat tante
Lia agar tetap berfikir positif mengenai Alin.
“ngga mungkin kan ngerjain tugas sampai tengah malam baru pulang Day?
Dia itu kan perempuan, tante cuma khawatir sama dia.” Jawab tante Lia dengan
wajah yang terlihat gusar.
Aku hanya bisa diam mendengar pernyataan tante Lia tersebut. Aku jadi
penasaran mengenai Alin. Tante Lia bilang, Alin memang memiliki sifat yang keras
kepala. Sangat berbeda dengan sifat kakaknya, Rina. Pernyataan tante Lia
tersebut sukses membuatku merasa iba kepadanya, seorang single parent yang baru saja ditinggal mati anak pertamanya. Aku
tahu pasti tentang perasaannya, terlebih tante Lia benar-benar menyayangi Rina.
Duka belum berlalu, tetapi Alin malah mempersulit keadaan ibunya. Sebenarnya
ada apa dengan dia?
***
Sejak kunjungan ku ke rumah tante Lia beberapa hari yang lalu aku selalu
saja tak berhenti memikirkan apa yang tante Lia katakan padaku mengenai Alin.
Memang aku tak begitu mengenali Alin sebelumnya. Bahkan bertatap muka dengan
Alin pun aku belum pernah. Aku hanya tau semua tentang Alin melalui Nana.
Bahkan aku sempat ragu, apakah benar Alin itu adik kandung Rina setelah
mendengar cerita-cerita Nana mengenai Alin. Karena dari cerita yang Nana
sampaikan, aku bisa menangkap bahwa sifat Rina dan Alin sangat berbeda. Oh oke Day, baru kali ini kau dibuat penasaran
oleh gadis bernama Alin itu.
Saat ini aku sedang ada di kediaman tante Lia, mengunjungi nya lagi
untuk melihat keadaannya. Saat ini aku memang jadi sering berkunjung sejak aku
dengar kabar kesehatan tante Lia yang tak menentu. Dan saat ini, untuk pertama
kalinya aku melihatnya. Gadis yang belakangan ini selalu membuat ku penasaran
akan ulahnya. Alin, dia melangkah santai di hadapanku dan tante Lia. Sungguh
sulit dipercaya, dia sama sekali tak menyapaku yang sedang bersama ibunya.
Bahkan untuk melirikku pun mungkin dia enggan melakukannya.
“Alin, sini sebentar!” bujuk tante Lia setelah melihat Alin melangkah
begitu saja menuju teras. Tetapi bujukan tante Lia tersebut sama sekali tak
digubris olehnya.
“maaf ya Day kalau Alin kurang sopan!” sesal tante Lia terhadapku.
“ngga apa-apa tante. Day ngerti kok.” Jawabku sambil tersenyum ke arah
tante Lia. Ku lihat ekspresi tante Lia berubah, sepertinya dia merasa bersalah
akan sikap Alin kepada ku.
“tante, boleh aku minta izin untuk menemui Alin?” tanya ku pada tante
Lia, dan di menjawab dengan anggukan serta senyum nya.
Akhirnya aku beranjak dari sofa yang kududuki menuju teras dimana Alin
berada. Ku edarkan pandanganku ke sekeliling mencari-cari sosok yang ingin ku temui.
Akhirnya aku menemukannya terduduk di bangku taman yang ada di halaman rumah
ini. Tanpa fikir panjang langsung aku hampiri dia. Sungguh saat ini aku hanya
ingin mengenalnya lebih jauh setelah mendengar mengenai dirinya dari
orang-orang terdekatnya. Aku rasa dia punya alasan akan sikapnya selama ini.
“hai Alin, kamu kenal aku kan? Em, maksudku aku Day, teman kakakmu.”
“em, aku tau.” Aku tersentak mendengar jawabannya. Dia bahkan tak
menatapku sama sekali. Dia hanya berkutat pada buku yang dibacanya saat ini.
“oh, baguslah. Aku harap kita bisa jadi teman baik.” Lanjutku sesaat
setelah mendengar jawabannya.
Dan tak lama kemudian dia menatapku. Seketika tubuhku kaku saat
bertatapan dengannya. Entah benar atau memang hanya perasaan ku saja, tapi matanya
benar-benar mirip dengan mata Rina. Tatapannya membuatku merasa teduh seakan
aku sedang bertatapan dengan Rina saat ini juga. Dan tatapannya itu berhasil
menghapus semua anggapanku tentang sikap buruknya.
“sudah bicaranya? Aku masih banyak urusan.” Kata-katanya berhasil
membuatku terlepas dari lamunanku. Apa yang barusan dia katakan? Sikapnya
benar-benar sulit dipercaya.
Dia meninggalkan ku begitu saja dengan wajah datar dan sikap cuek nya.
Menyisakan beberapa pertanyaan dalam otakku. Membuatku bertanya-tanya tentang
dirinya yang bersikap seperti itu padaku. Apa aku punya salah kepadanya sampai
dia bersikap begitu? Entahlah aku jadi bingung sendiri memikirkannya.
Aku termenung diatas ranjang tidurku sambil berbaring. Fikiranku masih
berkemelut dengan hatiku tentang sikap Alin tadi siang. Kata-katanya membuatku
merasa ada pukulan keras yang menghantam dadaku seketika itu juga. Membuatku
merasa bahwa aku pernah berbuat salah padanya. Apa mungkin dia marah akan
kematian kakaknya terhadapku? Mungkin aku memang harus lebih bersabar untuk
mengenal dirinya lebih jauh.
***
Aku mencoba mencari tahu semua tentang Alin kepada Nana. Walau
bagaimanapun Nana adalah sepupu terdekat Alin, setidaknya mungkin dia tahu
sedikit tentang Alin. Nana bilang memang agak sulit untuk bisa dekat dengan
Alin. Mengingat kepribadian Alin yang sangat tertutup. Bahkan Nana pun sangat
sulit untuk mencoba dekat dengan Alin. Aku benar-benar bingung dibuatnya.
Banyak pertanyaan yang muncul di fikiranku. Kenapa dia begitu tidak peduli akan
orang-orang disekitarnya terutama ibunya sendiri? Kenapa dia bersikap begitu
padaku? Kenapa dia sangat tertutup? Dan banyak lagi pertanyaan yang lainnya.
Dan kali ini aku berfikir untuk berkunjung ke rumah tante Lia lagi. Barangkali
aku bisa tahu tentang Alin melalui ibunya langsung. Mungkin kalian
bertanya-tanya kenapa aku sangat berlebihan seperti ini sampai ingin tahu semua
tentang Alin. Dulu saat Rina masih hidup, dia pernah mengatakan bahwa dia
begitu sayang dengan adiknya, dan akan selalu melindungi adiknya itu. Dan saat
ini aku sedang melakukan apa yang Rina lakukan saat masih hidup dulu, yaitu
melindungi Alin. Mungkin dengan begitu aku bisa menebus rasa bersalahku pada
Rina, walaupun tak akan sepenuhnya.
“assalamu’alaikum.” Ucapku saat baru tiba di depan pintu kediaman tante
Lia sambil mengetuk pintu berulang kali.
Tak lama kemudian pintu pun terbuka. Seseorang menampakkan dirinya dari
pintu itu. Betapa terkejutnya aku saat melihat bahwa Alin yang membuka
pintunya.
“kamu? Mama ngga ada dirumah, jadi lain kali aja kesini lagi.” Jawabannya
benar-benar seperti petir disiang hari. Dengan kata lain dia sedang mengusirku.
“oh, aku ngga bermaksud bertemu tante Lia.” Jawabku dan ku akhiri dengan
senyuman. Berharap dia membalasnya.
“lalu? Cepatlah, aku sibuk.”
“ya kamu. Em maksud aku...aku mau ketemu kamu.”
“apa? Apa aku ngga salah dengar?” kali ini dia terkejut akan pernyataan
ku barusan. Apa salah aku ingin bertemu dengannya?
“ngga, kenapa emangnya?”
“emm, maaf aku sibuk.” Jawabnya datar. Lalu dia berniat menutup pintu
rumahnya tanpa mempedulikan aku yang ada didepannya saat ini. Tapi aku berhasil
menahan pintu itu dan berhasil membatalkan niatnya.
“mau apa lagi?” tanya Alin dengan tatapan sinisnya.
“ikut aku!” jawabku dan langsung ku tarik tangannya menuju satria-ku yang tak jauh dari sana.
“hey, mau apa sih? lepasin” tanyanya sambil terus memberontak.
***
Ku lajukan satria-ku dengan
kecepatan sedang. Menuju suatu tempat yang ingin aku tuju. Mungkin ini terlalu
mengejutkan baginya. Dan mungkin setelah ini dia akan lebih membenciku. Ah sudahlah
aku tak peduli lagi sekarang ini.
“turunlah!” pinta ku kepada Alin. Lalu tak lama dia turun.
“mau ngapain sih disini?” tanyanya sedikit ketus.
“ikuti aku, kita senang-senang hari ini.” Jawabku yang ku iringi dengan
senyum simpul.
“senang-senang? Tapi...” belum sempat dia meneruskan ucapannya, langsung
kupotong dengan ucapanku.
“sudahlah, jangan banyak omong. Kamu hanya tinggal ikuti apa kataku.”
Ku ajak dia melangkah di hamparan pasir putih dengan langit yang
terlihat cerah hari ini. Ya, kami sedang ada di pantai saat ini. Mungkin dia
merasa bingung kenapa aku mengajaknya kesini. Terlihat dari ekspresi wajahnya
yang tidak karuan itu.
“kenapa diam aja?” tanya ku setelah sadar dia tak bicara sepatah kata
pun sejak tadi kami sampai tempat ini.
“trus kamu mau aku ngomong apa?” jawabnya agak ketus.
“kamu senang?”
“biasa aja.” Jawabannya membuatku lemas seketika.
Dia itu benar-benar bisa membuatku mati muda. Aku tak habis fikir
bagaimana cara merubah sikapnya yang dingin itu. Kufikir dengan cara seperti
ini dia akan senang dan merubah sikapnya terhadapku. Ternyata aku salah. Dari
apa sebenarnya hatinya dibuat?
Tak jauh dari tempat kami berada, kulihat ada kedai yang menjual ice cream disana. Segera kutarik tangan
Alin untuk segera mengikutiku. Dia hanya diam dan sama sekali tak protes.
Segera kupesan dua buah ice cream
chocolate untukku dan Alin. Ku harap dia menyukainya. Setelah ku membayar ice cream ini segera ku berikan ice cream yang satu kepada Alin.
“ini.” Tawarku kepadanya.
“kau fikir aku kecil?” jawabnya yang membuat ku kecewa seketika.
Kukira semua wanita menyukai ice
cream. Tapi ternyata dia berbeda, dia menolak ice cream pemberianku. Tapi aku tetap memaksanya untuk menerima ice cream yang sudah kubeli tadi. Karena
sangat tidak mungkin aku dapat menghabiskan dua ice cream ini sendiri.
“sudalah, terima saja.” Bujukku agar dia mau menerima ice cream yang sudah kubeli tadi.
“aku tidak mau.” Tolaknya lagi untuk yang kedua kalinya.
“aku tak ingin mendengar penolakan darimu lagi. Ayo cepat ambil ini.”
Ucapku agak sedikit lantang, membuatnya menatapku tak percaya dan segera meraih
ice cream dalam genggamanku.
Tak lama kemudian kulihat dia memakan ice cream chocolate-nya dengan lahap. Apa dia itu hanya
berpura-pura menolak ice cream
dariku? Ah, aku tak peduli. Yang penting saat ini dia mau menerima ice cream pemberianku dan
menghabiskannya. Itu sudah cukup bagiku.
Tak terasa hari mulai menyembunyikan mataharinya. Langit pun mulai
membiaskan warna oranye, menandakan bahwa hari sudah semakin sore. Padahal aku
merasa kalau aku baru saja memulai hari ini. Ku pandangi wajah Alin yang
menatap lurus kedepan. Kurasa dia sedang menunggu matahari terbenam. Kami
sama-sama terdiam dan sibuk pada fikiran masing-masing.
“kenapa kau ini sangat dingin pada orang-orang terdekatmu?” tanyaku
memulai percakapan, memecah suasana hening antara aku dan Alin.
Dia hanya terdiam tak mengucapkan sepatah katapun.
“kenapa hanya diam?” tanyaku lagi berharap kali ini dia mau menjawabnya.
“apa urusanmu?” dia malah balik bertanya dan membuatku terkejut akan
pertanyaannya barusan.
“aku memang bukan siapa-siapa, tapi bersikap pekalah sedikit pada
orang-orang di sekeliling mu. Kau tau? Mereka semua menyayangimu. Terlebih ibumu.
Kenapa kau tak pernah mengerti perasaannya. Dia selalu menghawatirkan mu setiap
malam saat kau pulang telat.” Jelas ku panjang lebar, berharap dia menyadari
sesuatu dari ucapanku tadi.
“itu bukan urusanmu.” Jawabnya dengan tatapan tajam kearahku.
***
Aku masih tak habis fikir, gadis itu sukses membuatku hilang fikiran
karena terus memikirkan dia. Semakin hari aku semakin dibuatnya penasaran.
Kata-katanya waktu itu membuatku terperangah kaget dan beribu pertanyaan
berkelebat di otakku. Aku sadar itu memang sama sekali bukan urusanku. Tapi aku
tak bisa berhenti sampai sini untuk mengetahui apa alasan dia bersikap begitu.
Ku lajukan satria-ku menuju ke
arah rumah tante Lia. Ya, hari ini ku putuskan untuk berkunjung lagi ke rumah
tante Lia. Entah mengapa aku tidak pernah merasa bosan untuk berkunjung ke sana
walaupun sudah puluhan kali ku lakukan itu. Atau mungkin ini semua karena Alin?
Entahlah akupun sendiri kurang paham.
Aku hampir saja sampai di rumah tante Lia setelah sebelumnya aku melihat
Alin yang ada di tikungan tak jauh dari rumahnya. Kurasa dia sedang berjalan
pulang. Aku berniat mengajaknya untuk ke rumahnya bersama. Ku lihat dia bersiap
untuk menyebrangi jalan menuju jalan rumahnya berada. Ku putuskan untuk
memanggil namanya.
“Alin!!” panggilku dengan suara agak keras agar terdengar olehnya,
meningat aku sedang ada di jalan raya dengan suara bising kendaraan yang
berlalu lalang.
Kulihat dia menoleh kearahku. Tapi dari arah depan kulihat sebuah mobil
melaju dengan kecepatan tinggi. Aku benar-benar tak bisa berfikir jernih saat
ini. Segera aku berlari kearahnya dan raih tubuhnya lalu kudorong dia ke
pinggir.
“Alin, awas!” teriakku dan berusaha menyingkirkannya dari sana.
BRAAAK!
Aku merasa sakit luar biasa di tubuhku. Kulihat Alin menghampiriku dan
memanggil nama ku sambil menangis. Aku bisa mendengar suaranya, tapi aku sama
sekali tak bisa menjawabnya. Susah payah ku keluarkan ucapanku, tapi tak
sepatah katapun keluar dari mulutku. Hingga akhirnya pandanganku kabur dan aku
tak ingat apa-apa lagi.
***
Aku mengerjap setelah kurasakan sinar masuk ke dalam celah mataku.
Memandang sekeliling dan menyadari bahwa aku ada dirumah sakit. Aku menoleh ke
kanan, dan kulihat Alin sedang tertidur sambil terduduk di sofa yang ada di
ruangan ini. Tak sadar aku tersenyum melihatnya, orang yang terakhir kali
kulihat saat aku tak sadarkan diri dan orang yang pertama kali ku lihat saat
siuman.
Aku terus saja memandanginya sampai dia terbangun saat ini. Dia
melihatku dan agak terkejut setelah menemukanku sudah terduduk dan bersandar
pada papan ranjang tidur rumah sakit ini. Tak menunggu lama dia langsung
menghampiriku. Terselip pikiran usilku untuk menggodanya. Mungkin sedikit
mengerjainya tak apa-apa. Aku ingin lihat reaksinya.
“Day, kamu udah siuman?” tanyanya dengan ekspresi khawatirnya. Ini
pertama kalinya aku melihat ekspresinya yang seperti itu.
“kamu..kamu siapa?” tanyaku dan wajahnya seketika terkejut akan
pertanyaanku.
Kulihat dia menunduk kecewa akan sikapku yang pura-pura tak
mengenalinya. Kali ini aku berhasil bengelabuhinya. Kulihat matanya mulai
berkaca-kaca. Dan aku mulai tak tega melihatnya. Akhirnya kuputuskan untuk
mengakhiri kebohongan yang kuciptakan sendiri ini.
“Alin, jangan nangis.” Ucapku padanya. Ku lihat dia menoleh kearahku
dengan tatapan tak percaya. Aku tersenyum kearahnya.
“jadi kamu bohong Day?” tanyanya yang mengundang tawa dariku.
“jadi kamu fikir aku serius? Hahaha.”
“ngga lucu Day.” Jawabnya dengan ekspresi marahnya.
Dia pergi berniat pergi menjauh dariku. Tapi seketika kutahan dia
sebelum dia melangkah lebih jauh.
“Alin, kamu marah?” tanyaku dengan nada selembut mungkin. Sepertinya dia
sedang merajuk.
“kamu ngga tahu aku benar-benar khawatir? Kamu malah ngerjain aku. Kamu
jahat banget sih Day.” Ucapnya dengan mata yang masih berkaca-kaca.
“maaf Alin, aku cuma iseng.” Sesalku padanya karena telah membuatnya
khawatir dan marah.
“Day...Day maafin aku.” Suaranya terdengar lirih di telingaku.
Sepertinya dia menahan tangisnya.
“untuk apa?” tanyaku kepadanya.
“karena aku, karena aku kamu jadi begini. Karena aku kamu jadi celaka
Day.” Pernyataannya membuatku tersentak. Dia meminta maaf karena ini?
“aku ngga pernah nyalahin kamu lin.” Ujarku berusaha menenangkan
fikirannya yang ku yakin sedang kacau saat ini.
“ngga, ini semua salahku. Katakan apa bisa aku perbuat supaya aku bisa
menebus kesalahan aku Day?” tanyanya dan kemudian air matanya menetes begitu
saja.
“dengarkan aku lin. Aku sama sekali ngga pernah nyalahin kamu atas
kejadian ini. Ini semua mungkin udah takdir yang tuhan kasih buat aku. Dan aku
ngga akan nyalahin siapapun atas peristiwa ini.”
“tapi kalau kamu ngga berusaha nolong aku, kamu ngga mungkin jadi begini
Day. Maaf, sekali lagi maafin aku.”
Terlihat ekspresi menyesal di wajahnya. Apa benar ini dia? Apa benar ini
Alin yang selama ini aku kenal?
“baiklah jika kamu ingin aku maafin kamu. Sekarang kamu berhenti
menangis dan coba tunjukkan senyummu padaku.” Ujarku pada Alin.
Kemudian Alin menoleh ke arahku dan mengusap air matanya secara
perlahan. Dia terlihat agak sedikit ragu untuk tersenyum ke arahku. Tapi
akhirnya dia menampakkan senyumnya itu kepadaku. Aku terkesiap memandangnya.
Seketika aku teringat akan Rina. Senyumannya benar-benar membuatku merasakan
bahwa yang ada di hadapanku ini adalah Rina. Mengapa bisa senyuman mereka
semirip ini.
“Day.” Panggil Alin sambil mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan
wajahku. Seketika itu Alin membuyarkan lamunanku.
“eh, iya. Kenapa lin?”
“kok kamu bengong?” dia balik bertanya dan aku tak menjawab
pertanyaannya. Aku hanya bisa tersenyum memandanginya
***
1 tahun kemudian
Disini, aku membelai batu nisan yang ada di hadapanku sekarang. Aku
tersenyum membaca namanya. Rina Handayani Pertiwi, sosok yang selama ini tak
pernah hilang keberadaannya di hidupku meskipun raganya tak lagi ada untukku.
Dan disini, saat ini, aku mengenalkan istriku padanya. Mungkin tidak tepat jika
aku memperkenalkan Rina dengan istriku mengingat mereka memiliki hubungan yang
sangat dekat. Bahkan lebih dekat daripada aku dan istriku sendiri. Dan disini,
dihadapan makamnya, aku sudah berjanji akan menjaga dan melindungi Alin seperti
apa yang dia lakukan saat masih hidup dahulu. Kupandangi istriku yang ada di
sebelahku. Dan tersenyum menatapnya. Dengan menatap sorot matanya, aku tetap bisa
merasakan kehadiran Rina di setiap raga yang Alin miliki. Dan melalui
dekapannya, aku tetap bisa merasakan Rina di hatiku. Selamanya.
**TAMAT**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar